Menyoal Pendidikan, tepat hari ini 02 Mei 2025 Masyarakat Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional ditandai dengan Menaikan Bendera Indonesia di berbagai tempat di pelosok negeri. Hardiknas di Indonesia diselenggarakan untuk menghormati Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan yang berjasa dalam memperjuangkan hak belajar bagi rakyat Indonesia dan bertujuan untuk mengingatkan pentingnya pendidikan sebagai pondasi kemajuan bangsa. Setiap tahun, tema Hardiknas selalu berkaitan dengan inovasi dan peningkatan akses pendidikan agar semua anak Indonesia dapat belajar tanpa hambatan.
Hak atas Pendidikan (The
Right to Education)
Hak atas
pendidikan adalah hak universal yang diakui dalam berbagai instrumen hak asasi
manusia internasional. Dokumen penting seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 menyatakan bahwa setiap orang memiliki
hak atas Pendidikan. Pendidikan dasar setidaknya harus gratis dan wajib,
sementara pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi harus tersedia dan dapat
diakses oleh semua berdasarkan prestasi.
DUHAM juga menekankan bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan penuh kepribadian manusia, penguatan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mempromosikan pemahaman, toleransi, dan persahabatan. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) juga mengakui hak setiap orang atas pendidikan dengan tujuan yang serupa. ICESCR adalah instrumen berbasis perjanjian yang mengikat negara-negara yang telah meratifikasinya.
Di Indonesia, hak atas pendidikan dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Para pendiri negara menyadari pentingnya hak atas pendidikan sejak awal, menjadikannya sebagai sarana strategis untuk mewujudkan negara yang modern, demokratis, sejahtera, dan berkeadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 mencantumkan frasa "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai salah satu tujuan negara. Pasal 31 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap anak berhak mengakses pendidikan dan sekolah sesuai minat, bakat, dan kapasitas intelektualnya.
Setelah Amandemen Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, Pasal 31 diperkuat dengan ketentuan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Negara juga diwajibkan untuk mengelola satu sistem pendidikan nasional dan memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Indonesia termasuk salah satu dari sedikit negara yang secara eksplisit menyebutkan persentase minimum anggaran pendidikan dalam konstitusinya.
Secara historis, Indonesia telah berupaya keras untuk menyediakan layanan pendidikan bagi warganya. Salah satu tantangan terbesar di awal kemerdekaan adalah tingkat buta huruf yang tinggi. Pemerintah telah meluncurkan program pendidikan berskala besar, memperluas fasilitas sekolah, dan melatih guru. Pada era Orde Baru, terjadi perluasan sekolah dasar secara masif dan perekrutan guru, yang berkontribusi signifikan dalam mengurangi buta huruf dan mencapai pendidikan dasar universal pada tahun 1980-an.
Di era Reformasi, reformasi pendidikan berlanjut, didukung oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah meluncurkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan kemudian Wajib Belajar Dua Belas Tahun. Program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa bagi siswa miskin juga diluncurkan untuk mengurangi angka putus sekolah.
Meskipun telah ada kemajuan signifikan dalam pelaksanaan hak atas pendidikan, Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi hak ini bagi seluruh warga negara, terutama bagi penduduk miskin, terpinggirkan (marginalized), dan masyarakat adat (indigenous peoples). Banyak tantangan yang dihadapi, meliputi:
•Tingkat putus sekolah yang masih tinggi, khususnya
karena kendala biaya bagi keluarga miskin.
•Ketidakmerataan akses terhadap fasilitas pendidikan,
termasuk perguruan tinggi yang sebagian besar berada di Jawa.
•Kurangnya kemauan politik yang serius dari elit
pemerintah dan parlemen untuk mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai
dan mematuhi amanat konstitusi terkait anggaran 20%, di mana sebagian besar
alokasi tersebut mencakup gaji guru, dan hanya sebagian kecil untuk pelaksanaan
sistem pendidikan itu sendiri.
•Korupsi di sektor pendidikan, yang mempengaruhi
efektivitas belanja publik dan berdampak pada masyarakat.
Pembahasan tentang tantangan Pendidikan akan dibahas kemudian dan ini Pekerjaan Rumah Kita semua.
Pendidikan Inklusif (Inclusive Education)
Pendidikan
inklusif adalah agenda reformasi pendidikan di seluruh dunia yang bertujuan
untuk menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan bagi semua anak.
Terlepas dari kondisi atau keadaan apapun, setiap anak dijamin berhak atas
pendidikan. Ini sejalan dengan program global Education for All (EFA).
Indonesia telah menyatakan "Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif" pada Agustus 2011. Kebijakan nasional tentang pendidikan inklusif di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009. Kebijakan ini diatur sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jumlah sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif dilaporkan meningkat secara signifikan, didukung oleh peraturan provinsi dan kabupaten terkait.
Permendiknas 70/2009 mengatur berbagai aspek pendidikan inklusif, termasuk tujuan, jenis peserta didik (dengan kelainan dan potensi kecerdasan/bakat istimewa), penerimaan peserta didik, jaminan pemerintah/pemerintah daerah, kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, penyediaan guru khusus, dukungan, pengawasan, serta penghargaan dan hukuman. Pasal 1 Permendiknas 70/2009 mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk belajar bersama dengan anak-anak lainnya (anak umum).
Namun, terdapat perspektif yang sempit mengenai pendidikan inklusif di Indonesia. Pendidikan inklusif masih lebih banyak dibahas dalam kaitannya dengan peserta didik berkebutuhan khusus dalam artian disabilitas saja. Permendiknas 70/2009 sendiri, meskipun menyebut potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, sebagian besar pasalnya (15 pasal) berfokus pada peserta didik berkebutuhan khusus atau dengan kelainan/disabilitas, dan tidak ada pasal yang secara khusus membahas peserta didik dengan potensi kecerdasan/bakat istimewa, menjadikannya kebijakan yang tidak lengkap dalam pengertian luas inklusi. Penggunaan kategori "abnormal" dalam kebijakan ini juga mengindikasikan pembedaan antara peserta didik "umum" dan "abnormal".
Pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia masih diwarnai oleh isu segregasi dan diskriminasi. Keberadaan sistem pendidikan khusus (Sekolah Luar Biasa/SLB) untuk berbagai jenis disabilitas yang terpisah dari pendidikan reguler menunjukkan bahwa sistem segregasi masih diterapkan di Indonesia, meskipun telah ada gerakan menuju pendidikan inklusif. Selain itu, peserta didik yang rentan atau terpinggirkan karena faktor status sosial ekonomi, gender, agama, etnisitas, dll., belum sepenuhnya diakomodasi dalam kerangka kebijakan pendidikan inklusif saat ini, meskipun tujuan inklusi seharusnya mencakup penghormatan terhadap keragaman dan tanpa diskriminasi untuk semua peserta didik.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan pendidikan inklusif meliputi kurangnya guru terlatih dan pemahaman mereka, keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia, kurangnya dukungan dari masyarakat, serta kurangnya informasi dan sikap diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Beberapa sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusif juga dilaporkan belum siap sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Meskipun demikian, kemajuan telah dicapai dalam pergeseran menuju pendidikan yang lebih inklusif. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk mencapai hak universal atas pendidikan bagi semua. Pemahaman yang tepat dan holistik mengenai pendidikan inklusif sangat penting; inklusi bukanlah hanya tentang disabilitas, tetapi lebih pada keadilan sosial dan non-diskriminasi untuk semua terlepas dari keadaan mereka. Reaktualisasi konsep pendidikan inklusif sebagai jaminan kualitas dan akses dapat meningkatkan implementasi dan pencapaian tujuan EFA.
Upaya reformasi pendidikan yang lebih luas di Indonesia, seperti penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pengembangan kurikulum tingkat sekolah, penggunaan ICT, sertifikasi dan pengembangan profesional guru, serta ujian nasional, juga berperan dalam mendukung peningkatan kualitas dan akses pendidikan secara keseluruhan, yang sejalan dengan tujuan hak atas pendidikan dan pendidikan inklusif. Namun, proses reformasi ini membutuhkan waktu dan masih menghadapi kendala.
Indonesia telah memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang mengakui hak atas pendidikan dan mendukung pendidikan inklusif, serta telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaannya. Namun, masih ada tantangan besar terkait pemenuhan hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara, terutama kelompok rentan, serta dalam mewujudkan konsep pendidikan inklusif yang komprehensif dan antidiskriminasi yang mencakup semua jenis keragaman, bukan hanya disabilitas. Masih terdapat kelompok rentan lain belum terakomodasi. Peserta didik yang rentan atau terpinggirkan karena faktor status sosial ekonomi, gender, agama, etnisitas, dan lain-lain, belum sepenuhnya terakomodasi dalam kerangka kebijakan pendidikan inklusif saat ini.
Meskipun demikian, ada pergeseran menuju pendidikan yang lebih inklusif di Indonesia. Diperlukan pemahaman yang tepat dan holistik mengenai Pendidikan inklusif; inklusi bukan hanya tentang disabilitas, tetapi lebih pada keadilan sosial dan non-diskriminasi untuk semua terlepas dari keadaan mereka. Reaktualisasi konsep pendidikan inklusif sebagai jaminan kualitas dan akses dapat meningkatkan implementasi dan pencapaian tujuan EFA.
Dengan demikian, hak anak untuk mendapatkan pendidikan adalah prinsip panduan yang mendorong upaya reformasi dan restrukturisasi sekolah di Indonesia. Masa depan anak bersekolah diharapkan akan lebih mencerminkan perwujudan hak ini secara penuh, yaitu sistem pendidikan yang benar-benar inklusif, tidak diskriminatif, berkualitas, dan dapat diakses oleh semua anak tanpa terkecuali, terlepas dari kondisi atau latar belakang mereka. Perwujudan penuh hak ini adalah tujuan masa depan yang masih terus diupayakan, menghadapi berbagai kompleksitas dan hambatan di depan mata.
Fitur Sekolah di Masa Depan di Indonesia
Sumber "The Future of Schooling
in Indonesia" yang diterbitkan oleh CICE Hiroshima University, Journal
of International Cooperation in Education mencatat bahwa Indonesia akan sangat bergantung pada proses restrukturisasi sekolah yang
sedang berlangsung. Reformasi dan restrukturisasi ini diharapkan membawa
perubahan mendasar dalam tata kelola, budaya sekolah, iklim, dan hubungan
dengan pemangku kepentingan. Fitur-fitur masa depan sekolah yang diantisipasi
meliputi:
•Tata kelola sekolah
yang lebih mandiri (School-Based Management - SBM) yang terbuka, akuntabel, dan
melibatkan partisipasi masyarakat sekolah dalam pengambilan keputusan.
•Kurikulum tingkat
sekolah yang dirancang oleh komunitas sekolah berdasarkan standar nasional,
agar lebih relevan dengan kebutuhan dan kondisi siswa.
•Peningkatan efektivitas
proses belajar mengajar melalui penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(ICT), meskipun implementasinya masih menghadapi kendala seperti kurangnya
peralatan dan infrastruktur, terutama di daerah pedesaan.
•Penjaminan kompetensi
dan komitmen guru melalui program sertifikasi dan pengembangan profesionalisme
guru berbasis sekolah seperti lesson study, yang diharapkan mengubah
iklim sekolah menjadi organisasi pembelajar.
•Peningkatan kualitas
dan akuntabilitas melalui sistem penilaian dan ujian nasional sebagai alat
kontrol kualitas.
•Adanya dorongan menuju standar kualitas yang mengarah pada standar internasional, salah satunya didorong oleh keberadaan sekolah-sekolah internasional.
Meskipun ada kemajuan signifikan yang telah dicapai dalam sejarah pendidikan Indonesia, National Center for Educational Assessment, Indonesia juga menunjukkan bahwa masa depan yang ideal ini masih menghadapi banyak rintangan. Indonesia masih kesulitan memenuhi hak pendidikan untuk seluruh warga negara, terutama mereka yang miskin, terpinggirkan, masyarakat adat, dan mereka yang tinggal di daerah terpencil atau terisolasi.
Kurangnya kemauan politik yang serius
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan secara memadai untuk implementasi
sistem pendidikan itu sendiri, bukan hanya gaji guru. Masih sumber yang sama menunjukkan
bahwa proses untuk mencapai pemerataan kualitas pendidikan ini akan membutuhkan
waktu 10-15 tahun lagi, dan masih banyak yang harus dicapai untuk mewujudkan
hak fundamental dan universal atas pendidikan bagi seluruh masyarakat.
Masyarakat sipil telah mengambil peran konstruktif, seperti melalui program
Indonesia Mengajar dan Sokola Rimba, untuk mengisi kekosongan dalam pelayanan
pendidikan di daerah terpencil dan terpinggirkan.
Sebagai penutup, masa depan pendidikan anak di Indonesia sangat
bergantung pada keberlanjutan dan efektivitas implementasi kebijakan reformasi,
upaya mengatasi kesenjangan dan hambatan, serta peran bersama dari pemerintah
dan masyarakat sipil dalam memastikan setiap anak, terlepas dari kondisi dan
keadaannya, memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan
non-diskriminatif.
Wallahu A’lam bi As-sawab