Dalam kehidupan bermasyarakat kata berguna; berasal dari guna. Sering kali kata ini didengar kapan dan di mana pun, dan semua itu dalam konteks kebaikan. Kata ini memang sangat identik dengan hal yang bermanfaat, berfaedah atau mendatangkan kebaikan (KBBI online). Kebaikan apa saja yang membawa keuntungan, keberkahan bagi semua orang bahkan alam semesta. Islam menilai kehidupan yang ada tidak hanya berhenti disini; dunia, namun ada kehidupan lain setelah ini yaitu kehidupan akhirat yang kekal abadi. Oleh sebab itu setiap orang dalam ajaran Islam memiliki tugas dan tanggung jawab.
...أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم مر عليه بجنازة، فقال: مستريح، ومستراح منه، قالوا: يا رسول
الله، ما المستريح، والمستراح منه؟ فقال: العبد المؤمن يستريح من نصب الدنيا،
والعبد الفاجر يستريح منه العباد والبلاد والشجر، والدواب
Artinya:
“Sungguh Rasulullah saw telah dilewati jenazah (jenazah melewatinya), maka
beliau bersabda: mustarīḥ dan
mustarāḥ
minhu, mereka (para sahabat) bertanya: wahai Rasul Allah apa itu al-mustarīḥ dan (apa
pula) al-mustarāḥ
minhu? Beliau (lalu) menjawab: hamba (orang) yang beriman dia akan
beristirahat dari kepenatan dunia, dan hamba (orang) pendosa (akan) beristirahat
darinya manusia, negeri, pohon dan hewan.”
Hadis ini memberikan dua pemahaman; general maupun rinci. Secara general pesan hadis ini mengungkap terealisirnya kegunaan merupakan barometer apakah orang itu berguna bagi yang lain atau kah tidak? Sementara secara rinci hadis ini melihat aspek-aspek orang baru dapat disebut berguna bagi yang lain dilihat dari empat obyek yaitu: manusia, negeri; daerah/lingkungan, tumbuhan dan hewan. Orang yang berguna bagi empat obyek ini disebut al-mustarīḥ, sebaliknya orang yang justeru merugikan empat obyek dimaksud disebut al-mustarāḥ minhu.
Disebut al-mustarīḥ sebab orang
tipe ini selama hidupnya dia akan selalu berusaha melakukan hal-hal yang
berguna dan bermanfaat bagi siapa saja sehingga diilustrasikan dia telah beristirahat dari kepenatan dunia.
Mengapa? sebab sepanjang dia memperjuangkan hal-hal yang berguna bagi empat
obyek di atas maka selama itu pula dia akan menghadapi aneka tantangan, namun
dia akan berusaha dan berjuang merealisasikan hal-hal yang berguna. Sementara
mereka yang disebut al-mustarāḥ minhu adalah orang-orang yang
diistirahatkan darinya. Karena selama hidup, tipe orang ini jangankan berguna
bagi yang lain, justru dia adalah sumber petaka bagi siapa pun, negeri dan
lingkungannya sendiri bahkan tumbuhan dan hewan ikut merasakan akibatnya.
Ringkasnya orang yang disebut al-mustarāḥ minhu jika wafat, maka empat obyek tersebut jutseru bersyukur dengan
ketiadaannya.
Imam al-Nawawi
(w. 676 H) menjelaskan orang bertipe al-mustarāḥ
minhu itu berbuat zalim, melakukan
kemungkaran, dan bila orang lain mencegahnya maka dia akan mendapati akibat
negatif dari darinya, dan bila berdiam diri maka akan berdosa karena mendiamkan
perbuatan al-mustarāḥ minhu. Selain itu, hewan, negeri dan
tumbuhan akan memperoleh langsung perbuatan bejatnya seperti memukul dan
menyiksa hewan, mencegah pertumbuhan tanaman misalnya tidak menyiramnya (Syarh
al-Nawawi). Hal menarik dari reinterpretasi al-Nawawi dalam konteks modern
yaitu illegal logging, karena pepohonan yang ditebang lebih kepada
eksploitasi yang merugikan lingkungan sekitar.
Ungkapan sepadan
bagi mereka yang bertipe al-mustarīḥ; orang yang beristirahat dari kepenatan dunia yaitu pelaku kebaikan
sejati dan hal ini sesuai dengan salah satu penggalan sabda Nabi suci Muhammad
saw riwayat al-Ṭabarānī (w. 360 H)
dalam al-Mu‘jam al-Ausaṭ:
وخير الناس أنفعهم للناس
Artinya: “... dan sebaik-baik manusia adalah yang berguna; bermanfaat bagi manusia (lain)
wa
Allāhu
a‘lam bi al-ṣawāb