Dalam kehidupan bermasyarakat kata berguna; berasal dari guna. Sering kali kata ini didengar kapan dan di mana pun, dan semua itu dalam konteks kebaikan. Kata ini memang sangat identik dengan hal yang bermanfaat, berfaedah atau mendatangkan kebaikan (KBBI online). Kebaikan apa saja yang membawa keuntungan, keberkahan bagi semua orang bahkan alam semesta. Islam menilai kehidupan yang ada tidak hanya berhenti disini; dunia, namun ada kehidupan lain setelah ini yaitu kehidupan akhirat yang kekal abadi. Oleh sebab itu setiap orang dalam ajaran Islam memiliki tugas dan tanggung jawab.


Baik tugas maupun tanggung jawab, keduanya akan sirna dan tidak lagi menjadi beban bagi setiap orang jika orang itu telah meninggalkan alam dunia. Salah satu patokan dasar orang tersebut dinilai berguna adalah sepak terjangnya selama dia berada di dunia. Dalam kaitan ini, imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan dari sahabat Abū Qatādah; al-āriṩ bin Rib‘iy al-Sulamī al-Khazrajī al-Anṣārī (w. 38/50/54/60 H) menyatakan:


...أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر عليه بجنازة، فقال: مستريح، ومستراح منه، قالوا: يا رسول الله، ما ‌المستريح، والمستراح منه؟ فقال: العبد المؤمن يستريح من نصب الدنيا، والعبد الفاجر يستريح منه العباد والبلاد والشجر، والدواب


Artinya: “Sungguh Rasulullah saw telah dilewati jenazah (jenazah melewatinya), maka beliau bersabda: mustarīḥ dan mustarāḥ minhu, mereka (para sahabat) bertanya: wahai Rasul Allah apa itu al-mustarīḥ dan (apa pula) al-mustarāḥ minhu? Beliau (lalu) menjawab: hamba (orang) yang beriman dia akan beristirahat dari kepenatan dunia, dan hamba (orang) pendosa (akan) beristirahat darinya manusia, negeri, pohon dan hewan.”    


Hadis ini memberikan dua pemahaman; general maupun rinci. Secara general pesan hadis ini mengungkap terealisirnya kegunaan merupakan barometer apakah orang itu berguna bagi yang lain atau kah tidak? Sementara secara rinci hadis ini melihat aspek-aspek orang baru dapat disebut berguna bagi yang lain dilihat dari empat obyek yaitu: manusia, negeri; daerah/lingkungan, tumbuhan dan hewan. Orang yang berguna bagi empat obyek ini disebut al-mustarīḥ, sebaliknya orang yang justeru merugikan empat obyek dimaksud disebut al-mustarāḥ minhu.


Disebut al-mustarīḥ sebab orang tipe ini selama hidupnya dia akan selalu berusaha melakukan hal-hal yang berguna dan bermanfaat bagi siapa saja sehingga diilustrasikan dia  telah beristirahat dari kepenatan dunia. Mengapa? sebab sepanjang dia memperjuangkan hal-hal yang berguna bagi empat obyek di atas maka selama itu pula dia akan menghadapi aneka tantangan, namun dia akan berusaha dan berjuang merealisasikan hal-hal yang berguna. Sementara mereka yang disebut al-mustarāḥ minhu adalah orang-orang yang diistirahatkan darinya. Karena selama hidup, tipe orang ini jangankan berguna bagi yang lain, justru dia adalah sumber petaka bagi siapa pun, negeri dan lingkungannya sendiri bahkan tumbuhan dan hewan ikut merasakan akibatnya. Ringkasnya orang yang disebut al-mustarāḥ minhu jika wafat, maka empat obyek tersebut jutseru bersyukur dengan ketiadaannya.


Imam al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan orang bertipe al-mustarāḥ minhu itu berbuat zalim, melakukan kemungkaran, dan bila orang lain mencegahnya maka dia akan mendapati akibat negatif dari darinya, dan bila berdiam diri maka akan berdosa karena mendiamkan perbuatan al-mustarāḥ minhu. Selain itu, hewan, negeri dan tumbuhan akan memperoleh langsung perbuatan bejatnya seperti memukul dan menyiksa hewan, mencegah pertumbuhan tanaman misalnya tidak menyiramnya (Syarh al-Nawawi). Hal menarik dari reinterpretasi al-Nawawi dalam konteks modern yaitu illegal logging, karena pepohonan yang ditebang lebih kepada eksploitasi yang merugikan lingkungan sekitar.


Ungkapan sepadan bagi mereka yang bertipe al-mustarīḥ; orang yang beristirahat dari kepenatan dunia yaitu pelaku kebaikan sejati dan hal ini sesuai dengan salah satu penggalan sabda Nabi suci Muhammad saw riwayat al-abarānī (w. 360 H) dalam al-Mu‘jam al-Ausa:    

وخير الناس ‌أنفعهم ‌للناس

Artinya: “... dan sebaik-baik manusia adalah yang berguna; bermanfaat bagi manusia (lain)


wa Allāhu a‘lam bi al-awāb