Dalam Al-Quran surat At-Tahrim
ayat 6, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka”
Rasulullah SAW bersabda: “setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinan kalian” (HR. Bukhari & Muslim).
Dari sudut pandang psikologi Islam,
ayat ini memperjelas dan membuka ruang kontemplasi yang mendalam bagi orang
tua, bukan hanya soal menghasilkan keturunan tapi soal bagaimana menunaikan amanah
tersebut dengan sebaik-baiknya, anak adalah amanah dan setiap amanah akan
dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Tugas utama orang tua bukan hanya
mencukupi kebutuhan fisik anak, tetapi lebih dari itu yakni memastikan mereka
tumbuh dalam lingkungan yang terdidik, mendekatkan diri kepada Allah dan
menghindarkan mereka dari kerusakan moral dan spiritual.
Islam juga menekankan
keseimbangan antara dunia dan akhirat, sebab menjadi orang tua yang kelelahan
secara fisik dan mental hingga tidak mampu menjalankan peran spiritual dan sosial
dengan baik, bisa jadi adalah bentuk kezaliman terhadap diri sendiri, oleh
karena itu menjaga kualitas diri dan anak2 adalah bagian dari ibadah dan
tanggung jawab keislaman.
Temuan ilmiah di Afrika--sebagaimana
dilansir oleh situs medium.com berjudul “Female Southern Pied Babblers
Get Stupider As They Produce More Offspring”--sekelompok peneliti menemukan fakta yang mungkin tidak mengubah
dunia, tapi cukup menggugah logika kita sebagai manusia, Dimana temuan ini
datang dari pengamatan terhadap seekor burung kecil bernama “southern pied
babbler,” burung sosial yang hidup berkelompok dan kerap bergotong royong,
tak ubahnya Masyarakat Indonesia. Namun bukan gaya hidup mereka yang menjadi
sorotan utama, melainkan pola yang cukup mencengangkan yakni semakin banyak
anak yang dimiliki burung betina, semakin rendah kemampuan berpikirnya, dengan
kata lain kapasitas kognitif sang induk burung betina menurun seiring
bertambahnya keturunannya.
Bagaimana para
ilmuwan sampai pada Kesimpulan tersebut?
Mereka melakukan serangkaian tes
sederhana yang dibuat senatural mungkin dengan perilaku mereka sehari-hari,
seperti mencari cacing di tanah, mereka harus memilih warna yang tepat untuk
mendapatkan cacing atau menghindari rintangan agar bisa mendapatkan makanan dan
hasilnya konsisten bahwa burung yang sebelumnya dikondisikan menyelesaikan tes
dengan cepat dan tepat setelah sekelompok burung punya banyak anak mereka
menjadi lebih lambat dan kerap melakukan kesalahan.
Peneliti menyimpulkan adanya trade
off biologis yaitu energi yang dimiliki burung terbatas, dan Ketika energi tersebut
difokuskan untuk reproduksi serta mengasuh anak maka kapasitas otak menjadi
berkurang atau tersisihkan. Rupanya otak dan Rahim tidak bisa bekerja maksimal mungkin
secara bersamaan. Perlu ditekankan penelitian ini bukan mitos atau kepercayaan
tradisional melainkan mekanisme biologi nyata yang terukur secara ilmiah.
“Lantas fenomena ini hanya
terjadi pada burung saja”
Berdasarkan hasil riset ekonomi
yang dilakukan oleh Colombia University bekerja sama dengan Biro Nasional riset
Ekonomi Amerika Serikat Tahun 1960 yang meneliti tentang An Aconomic Analysis
of Fertility, seorang ekonom Bernama Gary Becker, mengajukan teori revolusioner
dan kemudian berhasil meraih Nobel Dimana ia menyatakan bahwa Keputusan untuk
memiliki anak bukanlah semata hasil dorongan naluriah atau cinta belaka
melainkan kalkulasi rasional termasuk aspek ekonomi. Menurut Becker pasangan
suami istri perlu mempertimbangkan pilihan antara memiliki banyak anak
(kuantitas) atau memiliki sedikit anak (kualitas) yang lebih tinggi.
Dalam hal ini Becker menemukan
bahwa seiring meningkatnya pendapatan keluarga, keinginan untuk menambah jumlah
anak justru menurun, mengapa demikian? karena Ketika sumber daya ekonomi
bertambah orang tua cenderung berinvestasi pada pendidikan, nutrisi dan masa
depan anak-anak mereka. Memiliki lebih sedikit anak memungkinkan refocusing
sumber daya yang lebih optimal untuk masing-masing anak.
Temuan becker bahwa peningkatan
pendapatan berkorelasi dengan penurunan jumlah anak selaras dengan pemahaman
neuropsikologi (study tentang bagaimana otak mempengaruhi perilaku). Studi yang
dilakukan oleh Quartz & Sejnowski di tahun 2021 dengan judul “Neural
Adaptationin Reproductive Decision Making” tentang neuroplastisitas yaitu
otak bersifat plastis sehingga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berubah
Ketika lingkungan sosial dan ekonomi berubah maka jalur neural (sel saraf) yang
mengatur keputusan reproduktif juga beradaptasi dan berubah, memprioritaskan
kualitas ketimbang kuantitas. Keputusan reproduktif melibatkan interaksi
kompleks antara sistem limbik (terkait emosi) dan korteks prefontal (terkait
perencanaan rasional). kedua area otak tersebut bertanggung jawab untuk
pemikiran jangka panjang dan kalkulasi nilai menunjukkan aktivasi tinggi saat
seseorang membuat keputusan reproduktif yang mempertimbangkan faktor ekonomi.
Pemahaman neurosains ini
menegaskan intuisi Gary Becker bahwa Keputusan reproduktif memiliki komponen
rasional yang kuat. Orang tua dengan jumlah anak yang lebih sedikit memang
dapat menawarkan pengalaman pengasuhan yang secara neural lebih memperkaya
sehingga berdampak pada perkembangan kognitif, bahasa, dan emosional anak-anak
mereka.
Kaitan antara jumlah anak dan
kualitas juga dibuktikan oleh Douglas Downey seorang peneliti dari Ohio State
University dalam jurnalnya yang berjudul Number of Sibling Intellectual
Development tahun 2001, yang menelusuri korelasi antara jumlah saudara
kandung dengan skor IQ. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin banyak
jumlah saudara maka semakin rendah rata-rata kemampuan kognitifnya, hal ini
bukan berarti anak dari keluarga yang memiliki banyak saudara pasti lebih “fuma
alias bodo” hanya saja mereka menerima jatah, waktu, perhatian dan stimulasi
intelektual lebih terbatas dari orang tua mereka. Teori ini dikenal sebagai “resource
dilution model” yakni model pengenceran sumber daya. Sumber daya orang tua
baik itu waktu, energi, perhatian maupun uang menjadi terbatas, jika hanya dua
anak maka distribusi sumber dayanya akan lebih besar per-anak tetapi jika anak
berjumlah lima, enam, dan seterusnya maka jatah tersebut menjadi lebih kecil
dan semakin terbagi.
Sementara dari hasil studi di bidang
Neuropsikologi mempertegas penelitian Downey antara jumlah saudara kandung dan
kemampuan kognitif dapat dijelaskan melalui prinsip psikologi perkembangan
otak. Dimana stimulasi lingkungan yang kaya (percakapan, interaksi, dan
pengalaman belajar) sangat penting untuk pembentukan konesi sinaptik yang
optimal. Penelitian Neurosains menunjukkan bahwa 700-1000 koneksi sinaptik baru
terbentuk pada otak anak di tiga tahun pertama kehidupan, interaksi one by
one dengan sang orang tua selama periode ini memfasilitasi aktivasi neural
yang lebih kuat dan pembentukan neural yang lebih kompleks, yang mendukung perkembangan
kognitif sang anak.
Perhatian yang terbagi dari
orang tua dengan banyak anak dapat berdampak pada Tingkat stimulasi verbal yang
diterima setiap anak, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima
lebih banyak percakapan dan interaksi verbal mengembangkan area Broca dan
Wernicke (pusat Bahasa otak) yang lebih kuat, yang berkorelasi dengan fungsi
kognitif Tingkat tinggi dan kinerja akademik yang lebih baik.
Dan juga dari sisi neurosains “resource
dilution” mempengaruhi kondisi neural si orang tua. Penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan beban pengasuhan dapat mengaktifkan respon stress kronis,
meningkatkan hormon kortisol dan mempengaruhi fungsi amigdala (pusat emosi
otak). Orang tua dengan tingkat stress lebih tinggi menunjukan aktivasi yang
lebih rendah di area terkait empati dan pengasuhan. Saat sumber daya terbagi di
antara lebih banyak anak, maka kemampuan untuk terlibat dalam “serve and
return” interaksi reseponsif yang merupakan fondasi perkembangan otak sehat
dapat berkurang, interaksi ini sangat penting karena memperkuat jalur neural
untuk regulasi emosi dan fungsi eksekutif yang berkembang di korteks prefontal
anak
Namun perlu dicatat bahwa temuan
tentang model pengenceran sumber (resource dilution) ini tidak
menyiratkan bahwa keluarga besar tidak dapat memberikan pengasuhan yang
berkualitas. Sebaliknya temuan ini menekankan pentingnya memaksimalkan
interaksi berkualitas dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi secara kognitif
terlepas dari jumlah keluarga.
Perspektif neurosains dan
psikologi perkembangan tidak hanya mengkonfirmasi tetapi juga memperdalam
pemahaman kita tentang model pengenceran sumber daya Downey, mengungkapkan
mekanisme biologis yang mendasari korelasi berdasarkan pengamatan antara ukuran
atau jumlah keluarga dan perkembangan kognitif sang anak.
Dengan demikian teori ekonomi Becker
dan penelitian sosiologis Downey memperoleh dimensi baru ketika dilihat melalui
lensa psikologi neuorsains, menghubungkan keputusan reproduktif dan
perkembangan kognitif dengan mekanisme neural yang mendasarinya.
Dari penjelasan biologis hingga
ekonomi dan neuropsikologi, dari burung hingga manusia menyimpulkan satu pola
yaitu jumlah keturunan yang terlalu banyak berpotensi mengorbankan kualitas,
baik kualitas kognitif si orang tua maupun kualitas parenting/pengasuhan yang
diterima si anak.
Yang menarik, pola keseimbangan
antara jumlah dan kualitas anak bukanlah hasil dari trend masyarakat atau
budaya tertentu. Ini lebih seperti “kebijaksanaan tubuh” yang sudah tertanam
secara “default” dalam diri kita sejak lama sekali.
Bayangkan seperti ini: selama
jutaan tahun tubuh dan otak kita belajar sendiri bahwa “lebih banyak” tidak
selalu berarti “lebih baik” dalam hal ini memiliki anak dan tidak selamanya
benar adagium “banyak anak banyak rezeki”. Ini seperti kebijaksanaan nenek
moyang yang tersimpan ke dalam biologi kita, sama seperti tangan kita tahu
bahwa harus menjauh dari api panas tanpa perlu diajarkan.
Otak manusia dengan segala
kerumitannya seolah memiliki kalkulator alami yang menimbang seolah-olah dia
berkata “dengan sumber daya yang kumiliki, berapa banyak anak yang bisa
kubesarkan dengan baik?” hal ini jika dipiki-pikir bukanlah perhitungan sadar tetapi
semacam naluri yang berevolusi karena terbukti berhasil. Keluarga yang
membesarkan sedikit anak dengan perhatian lebih sering kali menghasilkan
keturunan yang lebih mampu bertahan, berkembang dan berkualitas.
Jadi saat kita merasa berat hati
Ketika sumber daya terbagi terlalu tipis di antara banyak anak, atau saat kita
merasakan kepuasan mendalam Ketika bisa memberikan perhatian penuh pada satu
anak atau dua anak, ini bukan hanya perasaan pribadi. Ini adalah suara lembut
evolusi yang berbisik melalui generasi, mengingatkan bahwa dalam membesarkan
anak, kualitas pengasuhan sering kali lebih penting dari pada sekedar jumlah.
Jika kita melihat rangkuman dari
semua penelitian ini, dari ekonomi, biologi hingga psikologi semuanya menunjukkan
satu pelajaran sederhana namun penting yakni alam telah mengajarkan keseimbangan
antara “berapa banyak” dan “seberapa baik” dalam membesarkan anak?
Ini seperti kebijaksanaan
universal yang kita temukan di mana-mana, seekor burung yang memilih merawat
dua anak dengan baik dari pada empat anak dengan seadanya, sementara keluarga
manusia yang mampu memberikan pendidikan lebih baik pada dua anak dibanding enam
anak, bahkan melebihi jumlah tersebut, pada prinsipnya hal ini menjalankan pola
perilaku evolusi dasar yang sama.
Prinsip ini bukan menghakimi siapa
pun yang “memilih” memiliki keluarga besar atau kecil. Ini lebih seperti
pengingat bahwa tubuh dan pikiran kita baik manusia maupun hewan punya
keterbatasan alami. Ada batas berapa banyak perhatian, waktu, kasih sayang dan
cinta yang bisa kita berikan sebelum mulai terasa memudar. Ketika pasangan
memutuskan untuk berkeluarga ada kebijaksanaan dalam mendengarkan ritme alami tubuh,
bukan sebagai aturan kaku dan baku tapi sebagai pertimbangan bijak yang telah
terbukti secara ilmiah berhasil sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi
ini.