Ibnu Khaldun berkata: “Situasi yang sulit menciptakan manusia yang tangguh, dan manusia tangguh mampu menciptakan situasi yang baik. Sementara situasi yang baik  menciptakan manusia yang lemah, dan manusia lemah menciptakan situasi yang sulit

Ini adalah sebuah siklus yang akan selalu terjadi dalam proses kehidupan, ini bukan hanya siklus Sejarah tapi sebuah hukum alamiah yang terus berulang dari generasi ke generasi yang menunjukkan bahwa ini merupakan cerminan dari watak dan karakter manusia.

Sejak zaman para nabi, dari kisah Nabi Ibrahim yang diusir dari negerinya, Nabi Musa yang melawan tirani Fir’aun, hingga Nabi Muhammad SAW yang harus membangun peradaban menyebarkan agama Allah di Tengah penindasan, semuanya berakar dari penderitaan dan perjuangan.

Peradaban hampir semua diciptakan oleh orang-orang yang melewati proses suffering dan struggle, ia lahir dari luka, peluh, kesabaran bahkan darah dan air mata, ibarat emas tidak akan pernah menjadi sesuatu yang sangat bernilai jika tidak melalui proses penempaan. Ia dibakar, dileburkan, dihantam dengan tembaga untuk dibentuk baru kemudian kilaunya bisa terlihat.

Analogi emas relevan dan penuh makna, menggambarkan proses transformasi psikologis dari rapuh menjadi kuat dari mentah menjadi matang, pertumbuhan psikologis terjadi setelah mengalami penderitaan berat. Bukan penderitaannya yang membentuk manusia tapi bagaimana ia merespons penderitaan itu.

Dalam psikologi orang-orang yang mampu bertahan dan berjuang untuk bangkit di situasi yang begitu sulit tanpa putus asah disebut resilience, dengan kata lain resilience adalah kapasitas untuk terus bertumbuh meskipun berada dalam tekanan hebat, orang Tangguh bukan berarti tidak pernah rapuh tapi justru pernah retak dan berhasil menyatu Kembali. Konsep ini didukung banyak riset, oleh Ann Masten menyebut resiliensi sebagai “ordinary magic” kemampuan luar biasa yang jutru berasal dari mekanisme dasar manusia untuk bertahan.

Suatu riset yang pernah saya baca tentang biosphere “pohon-pohon yang ditanam dalam sebuah ruangan” sebuah eksperimen besar yang dilakukan di gurun Arizona pada tahun 1980 an. Para ilmuwan menciptakan ekosistem di dalamnya, yang terdiri dari hujan buatan, hutan yang ditumbuhi pepohonan, hingga Samudra kecil yang dilengkapi dengan terumbu karang. Delapan orang diminta untuk hidup di dalamnya selama dua tahun, mengandalkan udara, air dan makanan yang sepenuhnya dihasilkan dari sistem tersebut. Hasil dari eksperimen ini, pohon-pohon yang ditanam di biosphere ternyata tidak dapat tumbuh dengan baik, meskipun tumbuh dengan cepat sayangnya cepat pula layu dan mati sebelum mencapai kematangan. Para ilmuwan penasaran dan meneliti penyebab fenomena ini. Yaitu disebabkan “Angin”. Ya, tanpa angin pohon yang ditanam di biosphere tumbuh dengan cepat tapi akarnya dangkal dan tidak menggenggam kuat, serta batangnya lemah.

Angin di alam bebas ternyata memiliki peran penting dalam membentuk kekuatan pohon saat angin bertiup ia memaksa pohon untuk melentur dan menyesuaikan keseimbangannya agar tetap berdiri tegak, proses ini memicu terbentuknya jaringan sel kayu yang kuat pada batang sehingga menjadi lebih padat. Selain itu akar pohon juga merespon tekanan dengan menancap lebih dalam ke dalam tanah, memperkuat cengkramannya. Fenomena ini disebut dengan “reaction wood”.

Riset ini Selaras dengan perkataan Imam Ali bin Abi thalib:

لَيْسَتِ الرِّيَاحُ تُهَبُّ لِتُسْقِطَ الشَّجَرَ، بَلْ لِتَكْشِفَ قُوَّةَ جُذُورِهِ

 

“Angin tidak berhembus untuk merobohkan pepohonan, akan tetapi untuk menguji kekuatan akarnya’’

Angin membuat pohon bertahan menahan berat dirinya sendiri dan terlatih menghadapi kuatnya hembusan angin ataupun badai, sementara pohon di biosphere tidak pernah mengalami tekanan ini, mereka tumbuh tanpa tantangan, tanpa kesempatan untuk memperkuat akar dan batangnya. Mereka memang terlihat sehat secara fisik dan cepat berkembang namun secara struktur mereka rapuh, akarnya dangkal dan batangnya lemah dan saat beban alami dari pertumbuhannya sendiri bertambah, pohon-pohon itu tak mampu menopangnya. Akibatnya mereka tumbang sebelum mencapai kematangan.

Fenomena ini mencerminkan salah satu prinsip dasar psikologi manusia, yakni resiliensi, kemampuan individu untuk bertahan, beradaptasi dan bangkit dari tekanan maupun kesulitan. Seperti pohon, manusia yang tumbuh tanpa tantangan, tanpa pernah mengalami tekanan emosional, kegagalan atau krisis cenderung memiliki ketahanan diri yang rendah. Hidup yang terlalu nyaman bisa membuat seseorang mudah rapuh ketika dihadapkan dengan kenyataan keras kehidupan.

Tekanan, kesulitan, bahkan kegagalan, sejatinya adalah “angin kehidupan” yang membentuk keteguhan batin, ia melatih jiwa untuk melentur tanpa patah, dan mendorong seseorang memperkuat “akar” berupa nilai, keyakinan dan makna hidup yang dalam.

Kisah hidup Viktor frankl yang dia tuangkan dalam bukunya “Man’s Search for Meaning”. Frankl, yang seorang psikiater sekaligus penyintas kamp tahanan konsentrasi Nazi, menyaksikan secara langsung bagaimana manusia kehilangan segalanya, keluarga, kebebasan, bahkan harapan hidup. Dalam kondisi yang paling tidak manusiawi, di tengah kelaparan, kekejaman, dan kematian yang mengintai setiap hari, Frankl menemukan bahwa bukan penderitaan itu sendiri yang menghancurkan manusia tapi ketiadaan makna dibalik penderitaan itu. Justru mereka yang mampu menemukan alasan untuk tetap hidup, entah itu kembali bertemu dengan keluarganya, atau keyakinan spiritual yang dalam, cenderung lebih mampu bertahan secara psikologis dibanding mereka yang menyerah dalam keputusasaan.

Gagasan bahwa kesulitan bukanlah musuh melainkan proses pembentukan jiwa. sebagaimana ungkapan dalam pepatah arab :

رُبَّ ضَارَّةٍ نَافِعَةٌ

yang artinya “betapa banyak sesuatu yang tampak merugikan atau menyakitkan, ternyata membawa manfaat kebaikan”.

Peribahasa ini sangat relatable dengan perkataan Imam Al-Ghazali seorang imam dan sufi besar abad ke-11 :

لَنْ يَكْسِرَ اللهُ قَلْبًا إِلَّا لِيُقَوِّيَهُ

yang artinya “Tuhan tidak akan mematahkan hati seseorang kecuali untuk memperkuatnya”

Imam Ghazali percaya bahwa setiap penderitaan memiliki maksud ilahi yang tak selalu terlihat di awal, seperti pohon yang diperkuat oleh terpaan angin, jiwa manusia diperkuat oleh tekanan hidup, selama ia tidak kehilangan akarnya yakni nilai, iman maupun makna personal.

Frankl menyebut ini sebagai “logoterapi”, bahwa terapi paling mendasar bagi jiwa manusia adalah menemukan "alasan" dari penderitaannya. Maka penderitaan bukan akhir, tetapi sarana untuk transformasi. Jiwa yang mampu bertanya “untuk apa saya bertahan?” akan menemukan energi untuk tetap berdiri, sama seperti pohon yang tetap tegak meski diterpa badai.

Kisah Frankl menjadi bukti bahwa resiliensi bukan soal kekuatan fisik tapi kekuatan makna, dan makna itu sering kali muncul dari kedalaman penderitaan.

Tulisan ini pernah dimuat Malut Post (tanpa teks Arab),  Senin, 28 Juli 2025, 12:22