Bulan Agustus sangat bertuah bagi bangsa Indonesia. Di bulan ini sejak 1945, semua anak bangsa, tanah air dan tumpah darah Indonesia telah memperoleh kemerdekaan. Bangsa ini telah mampu menentukan jalan hidup mereka sendiri yang sebelumnya berada dalam kungkungan penjajah dan tidak dapat mengambil sikap secara mandiri. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, demikian bunyi dari bagian pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.


Kemerdekaan merupakan suatu keadaan berdiri sendiri atau kebebasan (KBBI online) dalam konteks kemerdekaan Indonesia adalah sebagai bangsa yang berdiri dan bebas menentukan jalan hidup mereka sendiri. Kebebasan dimaksud bukanlah bebas sebebas-bebasnya tanpa arah, sebab tidak ada kebebasan mutlak. Setiap bangsa yang merdeka memiliki aturan tersendiri yang dianut dan disepakati oleh bangsa tersebut, termasuk bangsa Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945.  


Apa yang telah pahlawan perjuangkan sampai Indonesia memperoleh kemerdekaan pada dasarnya bukan hanya sekedar kemerdekaan fisik belaka, meskipun ini termasuk hal yang yang harus dimerdekakan. Teramat sulit bahkan terkesan mustahil memperoleh kemerdekaan non fisik (batin) tanpa ada kemerdekaan fisik, karena keduanya saling berkaitan dan mendukung. Dalam sejarah, para budak diambil tidak hanya kemerdekaan fisiknya melainkan juga batinnya. Imam Malik (w. 179 H) dalam al-Muwattha mengilustrasikan kondisi perbudakan yang masih berlangsung sejak zaman jahiliah sampai abad kedua yaitu:

كل ذات رحم فولدها بمنزلتها. إن كانت حرة فولدت بعد عتقها. فولدها ‌أحرار   

Artinya: “setiap yang memiliki rahim (perempuan) maka anaknya (sesuai) dengan kedudukannya (perempuan itu). Jika perempuan itu merdeka maka dia melahirkan setelah bebasnya (dia merdeka) maka anaknya (juga) merdeka.”


Orang yang secara fisiknya dibatasi, tidak boleh kemana-mana dan harus bekerja secara dipaksa seperti kerja rodi di masa Belanda dan romusha di masa Jepang memastikan bahwa batinnya tidak merdeka. Dari sini nampak bahwa keadaan merdeka merupakan sesuatu yang dirasakan dan dijalankan dengan sukarela lantaran telah memiliki kesepakatan secara bersama-sama untuk melakukakan sesuatu.


Memang terkesan mustahil kemerdekaan batin tanpa kemerdekaan fisik, tetapi orang-orang besar kadang mengorbankan kemerdekaan fisik mereka demi untuk memelihra dan menjaga keutuhan kemerdekaan batinnya. Para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya adalah fakta kalau mereka merdeka secara batin meskipun fisiknya terbunuh, hancur. Dari sini berarti ada dua kategori yang diilustrasikan oleh Nelson Mandela (w. 2013) bahwa budak menuntut kemerdekaan sedangkan orang yang telah merdeka membuat kemerdekaan itu sendiri.


Kategori mereka yang menuntut kemerdekaan biasanya dialami oleh mereka yang tertindas baik dari aspek fisik, non fisik, material dan sebagainya. Alur pikiran mereka adalah bagaimana menjadi orang-orang yang merdeka. Hal ini berbeda dengan orang yang telah merdeka (orang-orang besar), meskipun secara fisik mereka mungkin terjajah, tetapi yang mereka pikirkan adalah membuat kemerdekaan sehingga penjajahan fisik bagi mereka tidak menghalangi mereka untuk mewujudkan kemerdekaan bagi semua orang. Disinilah maka lahir meritokrasi; yang bukan karena lobi dan jaringan, bahwa orang yang tidak punya latar belakang tertentu namun berkualitas (karena ilmunya) lebih berhak dari mereka yang memiliki seabrek latar belakang tanpa ilmu. Abi Mas’ud al-Badri al-Anshari al-Khazraji (w. 40/41/42/60 H) menyatakan:

أن العبيد إذا كانوا أقرأ من ‌الأحرار كانوا أحق بالإمامة

Artinya: “ sungguh hamba sahaya jika mereka lebih mampu (pandai) membaca dari orang yang merdeka, mereka lebih berhak menjadi imam”

 

wa Allāhu a‘lam bi al-awāb